Jumat, 30 Januari 2009

Ketika Kabar Kematian Tiba


Cepat atau lambat, kehidupan ini akan berakhir. Saya paham akan hal ini. Saya sudah mendengarnya, entah berapa puluh tahun silam. Saya sudah melihat kehidupan orang-orang dekat, keluarga maupun sahabat. Cepat atau lambat, setiap orang akan meninggalkan kehidupan sebagai manusia.

Ketika kabar kematian tiba, banyak orang yang bersedih. Ada rasa sesak di dalam dada. Sedih, terisak-isak, menangis, meraung-raung, dan sebagainya. Apa pun yang Anda lakukan, saya mengerti bahwa semua itu sebagai ungkapan atas kehilangan atau kepergian dari orang-orang yang kita cintai.

Kalau Anda tidak menunjukkan kesedihan, Anda bisa dicap sebagai orang yang tidak tahu diri. Anda dianggap sebagai orang yang tidak punya perasaan. Apalagi Anda berstatus sebagai orang yang mempunyai hubungan langsung; pasangan hidup, ipar, anak, menantu, cucu dalam, cucu luar, dan status lainnya. Jadi, menunjukkan kesedihan seakan-akan sebagai sesuatu yang wajar ketika kabar kematian tiba.

Siang ini, di tengah kesibukan menemani anak-anak yang sedang merayakan Tahun Baru Imlek di sekolahnya, kabar duka tiba kepada saya. Ayah saya meninggal dunia tadi siang, pukul 13:25 Wita. Sejak saya terakhir bertemu, di akhir November lalu, saya sudah menduga, cepat atau lambat kabar ini akan saya terima. Saya menempatkan awal April 2009 sebagai batas terlama. Dan akhirnya, semuanya terwujud pada hari ini.

Ada rasa sesak di dada. Ada rasa penyesalan karena saya tidak ada di sisinya. Namun saya belum menangis, setidak-tidaknya ketika tulisan ini saya buat. Saya hanya mempersiapkan diri untuk berangkat ke Denpasar, tempat jenazah disemayamkan.

Tampa bermaksud menyombongkan diri atau tidak menunjukkan kesedihan; bagi saya kematian adalah hal yang wajar dalam hidup ini. Sejak saya mengerti tentang hidup, melatih diri dengan menunggu orang yang meninggal, diajak tidur di kuburan oleh seorang bhikkhu, bertemu dengan teman yang akhirnya meninggal di depan mata, dan pengalaman lainnya; saya hanya merasa sedikit tabah.

Saya selalu ingat apa yang pernah disabdakan Buddha bahwa air mata kita sudah tumpah melebihi tujuh samudra. Rasa sesak tetap muncul di dada. Tanpa sadar, air mata terasa penuh dan menetes. Bagaimana pun saya tetap merasa sedih walaupun saya jarang bertemu. Cepat atau lambat ini pasti terjadi.

Selamat jalan buat papa.
Semoga perbuatan yang papa lakukan akan memberikan hasil yang baik, mengantarkan papa untuk selalu bertemu dengan kebaikan, kebajikan, dan mudah-mudahan bertemu Dhamma dimasa mendatang.

Semoga semua hidup berbahagia.

Tidak ada komentar: